...from this moment on,
every voice that told you,“you can’t” is silenced!
Every reason that tells you : things will never change,
disappears...
Kemaren saya tidak sengaja memutar channel HBO siang hari, lalu saya menonton sebuah film tentang kehidupan. The Freedom Writers. Pada awalnya saya mengira bahwa ini adalah film tentang jurnalistik atau semacamnya. Ternyata ini adalah sebuah film yang diangkat dari sebuh kisah nyata tentang rasisme yang terjadi di Long Beach, California. Tugas ini saya tulis dengan menggunakan format penulisan karya ilmiah populer agar lebih menarik. Mohon maaf sebelumnya.
SINOPSIS
Erin Gruwell (diperankan oleh Hillary Swank) berprofesi sebagai guru bahasa Inggris ketika isu rasisme di Amerika begitu hangat. Menurutnya, “peperangan” rasisme yang sesungguhnya tidak terjadi di dunia luar melainkan di sekolah. Dengan penuh harapan dan semangat, Erin mengajar bahasa Inggris di kelas 203 (lebih dikenal sebagai Room 203), yang di dalamnya terdapat beragam gank ras yang selalu mengelompok. Dalam film ini ditampilkan ras Kamboja (Cambodia), kulit hitam (The Black People), seorang kulit putih (The White People), dan sebagainya.
Pada awal kedatangan Erin (The White people), para murid sama sekali tidak tertarik dengan kehadirannya dan menganggap Erin tidak tahu tentang kehidupan yangs sesungguhnya. Bagi mereka (murid kelas 203), kehidupan adalah bagaimana caranya mereka selamat dari kekerasan seperti penembakan yang mengatasnamakan ras. Setiap murid merasa tidak aman jika berada di luar sekolah bahkan di luar rumah mereka sendiri.
Tidak hanya menghadapi murid dari berbagai ras, Erin juga menghadapi kenyataan bahwa yang “memulai” pengelompokan justru dimulai semenjak mereka duduk di bangku sekolah. Kelas 203 merupakan kelas di mana muridnya didominasi oleh The Black People yang dianggap mempunyai kemampuan jauh di bawah The White People. Pihak sekolah melarang mereka untuk membaca buku-buku yang dibaca oleh murid dari kelas lain karena dianggap tidak mampu “mengkonsumsi” buku-buku tersebut. Erin menyadari bahwa ada batas yang tidak terlihat (invisible border) di antara murid-muridnya.
Kemudian Erin menemukan cara untuk “merangkul“ kehidupan muridnya dengan memberikan mereka buku harian (jurnal) yang harus diisi setiap hari. Di buku itu mereka bebas menuliskan apa saja dan jika mereka memperbolehkan Erin membaca, buku tersebut harus diletakkan di lemari kelas. Awalnya Erin ragu cara ini akan berhasil ternyata semua murid menyanggupinya. Dari sinilah Erin mengetahui bahwa kehidupan mereka memang keras dan semakin bersemangat untuk merubah kehidupan muridnya. Erin rela bekerja paruh waktu (part time) di beberapa tempat demi mengumpulkan uang untuk membeli buku yang dianggap tidak sanggup dibaca oleh mereka, yaitu buku harian Anne Frank (The Diary of Anne Frank) -seorang Yahudi korban Holocaust-.
Tidak hanya itu, Erin juga mengundang korban-korban Holocaust lainnya untuk makan malam bersama muridnya. Kemudian seorang sahabat yang pernah menyelamatkan Anne Frank dari kejaran Nazi -Miep Gies- juga diundang dari Switzerland ke Long Beach dengan usaha penggalangan dana. Usaha-usaha ini rupanya semakin mengakrabkan Erin dan muridnya. Usaha-usaha Erin lambat laun menyadarkan murid-muridnya bahwa kekerasan terhadap sesama merupakan suatu hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Murid-murid yang pada awalnya saling membenci karena berbeda ras, akhirnya menjadi berteman dan menghancurkan invisible border yang selama ini mengurung mereka. Beberapa dari mereka membuang senjata api yang selama ini dijadikan alat perlindungan diri dan meninggalkan kehidupan gank jalanan.
ANALISIS
Dalam film ini ada beberapa hal yang bisa diangkat yaiut permasalah rasisme dan gank, diskriminasi yang terjadi di dalam dunia pendidikan, ruang kelas yang “menjelma” menjadi rumah hingga pentingnya peranan keluarga.
1. Racist dan Gank
Film The Freedoms Writers ini menampilkan isu ras. Masing-masing ras saling berlomba untuk mendapatkan pengakuan dengan cara bergabung dengan gank dari ras yang sama dan senasib. Pada awal film, ditampilkan bahwa untuk menjadi anggota suatu gank maka ia harus diajarkan kekerasan dengan cara dipukuli beramai-ramai. Tidak hanya di luar sekolah, di dalam sekolah pun sangat terlihat jelas ada batas-batas imajiner yang mengkotak-kotakkan mereka ke dalam area aman “sesama”. Tidak ada seorang pun yang berani melanggar batas-batas tersebut.
Dari salah satu permasalahan yang dihadapi oleh murid-murid Erin, saya mengangkat kisah Eva. Pola pikir Eva mengalami pergeseran, darah Hispanic memang mengalir deras dalam diri Eva. Akan tetapi pada akhirnya Eva memilih untuk berpihak pada kejujuran daripada memberikan kesaksian palsu demi melindungi kelompoknya (ras Hispanic).
2. Diskriminasi Dunia Pendidikan
Ketika Erin kali pertama melihat situasi sekolah, yang dilihatnya adalah adanya perbedaan antara kelas unggulan (didominasi oleh kulit putih, dan hanya ada satu kulit hitam). Pemisahan kelas yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas pemikiran dan stereotip bahwa pada umumnya The Black People , Hispanic, Kamboja, serta ras di luar kulit putih tidak mendapatkan nilai akademis yang tinggi. Menurut Erin, malah hal ini yang menyebabkan mereka tidak bisa bersaing secara sehat dengan The White People dalam bidang akademis.
Akan tetapi yang membuat saya terkejut adalah bahwa kepala sekolah di SMU tersebut adalah The Black People. Hal ini menandakan bahwa ia mendapat kedudukan tersebut karena pandai. Namun, ternyata kepala sekolah tersebut juga tidak mampu berbuat banyak untuk membantu Erin karena berada dalam “bayang-bayang“ anak buahnya yang termasuk dalam ras kulit putih. Satu hal yang juga membuat kecewa adalah perlakuan para guru yang sangat merendahkan murid-murid “terbelakang” di kelas 203. Kebetulan atau tidak, guru-guru tersebut dari golongan ras kulit putih. Seorang pendidik yang seharusnya mengapus batas-batas rasisme malah ikut menyuburkan rasisme. Sungguh ironis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar