Rabu, 18 Maret 2009

"The Freedom Writers"


...from this moment on,

every voice that told you,“you can’t” is silenced!

Every reason that tells you : things will never change,

disappears...



Kemaren saya tidak sengaja memutar channel HBO siang hari, lalu saya menonton sebuah film tentang kehidupan. The Freedom Writers. Pada awalnya saya mengira bahwa ini adalah film tentang jurnalistik atau semacamnya. Ternyata ini adalah sebuah film yang diangkat dari sebuh kisah nyata tentang rasisme yang terjadi di Long Beach, California. Tugas ini saya tulis dengan menggunakan format penulisan karya ilmiah populer agar lebih menarik. Mohon maaf sebelumnya.


SINOPSIS


Erin Gruwell (diperankan oleh Hillary Swank) berprofesi sebagai guru bahasa Inggris ketika isu rasisme di Amerika begitu hangat. Menurutnya, “peperangan” rasisme yang sesungguhnya tidak terjadi di dunia luar melainkan di sekolah. Dengan penuh harapan dan semangat, Erin mengajar bahasa Inggris di kelas 203 (lebih dikenal sebagai Room 203), yang di dalamnya terdapat beragam gank ras yang selalu mengelompok. Dalam film ini ditampilkan ras Kamboja (Cambodia), kulit hitam (The Black People), seorang kulit putih (The White People), dan sebagainya.


Pada awal kedatangan Erin (The White people), para murid sama sekali tidak tertarik dengan kehadirannya dan menganggap Erin tidak tahu tentang kehidupan yangs sesungguhnya. Bagi mereka (murid kelas 203), kehidupan adalah bagaimana caranya mereka selamat dari kekerasan seperti penembakan yang mengatasnamakan ras. Setiap murid merasa tidak aman jika berada di luar sekolah bahkan di luar rumah mereka sendiri.


Tidak hanya menghadapi murid dari berbagai ras, Erin juga menghadapi kenyataan bahwa yang “memulai” pengelompokan justru dimulai semenjak mereka duduk di bangku sekolah. Kelas 203 merupakan kelas di mana muridnya didominasi oleh The Black People yang dianggap mempunyai kemampuan jauh di bawah The White People. Pihak sekolah melarang mereka untuk membaca buku-buku yang dibaca oleh murid dari kelas lain karena dianggap tidak mampu “mengkonsumsi” buku-buku tersebut. Erin menyadari bahwa ada batas yang tidak terlihat (invisible border) di antara murid-muridnya.


Kemudian Erin menemukan cara untuk “merangkul“ kehidupan muridnya dengan memberikan mereka buku harian (jurnal) yang harus diisi setiap hari. Di buku itu mereka bebas menuliskan apa saja dan jika mereka memperbolehkan Erin membaca, buku tersebut harus diletakkan di lemari kelas. Awalnya Erin ragu cara ini akan berhasil ternyata semua murid menyanggupinya. Dari sinilah Erin mengetahui bahwa kehidupan mereka memang keras dan semakin bersemangat untuk merubah kehidupan muridnya. Erin rela bekerja paruh waktu (part time) di beberapa tempat demi mengumpulkan uang untuk membeli buku yang dianggap tidak sanggup dibaca oleh mereka, yaitu buku harian Anne Frank (The Diary of Anne Frank) -seorang Yahudi korban Holocaust-.


Tidak hanya itu, Erin juga mengundang korban-korban Holocaust lainnya untuk makan malam bersama muridnya. Kemudian seorang sahabat yang pernah menyelamatkan Anne Frank dari kejaran Nazi -Miep Gies- juga diundang dari Switzerland ke Long Beach dengan usaha penggalangan dana. Usaha-usaha ini rupanya semakin mengakrabkan Erin dan muridnya. Usaha-usaha Erin lambat laun menyadarkan murid-muridnya bahwa kekerasan terhadap sesama merupakan suatu hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Murid-murid yang pada awalnya saling membenci karena berbeda ras, akhirnya menjadi berteman dan menghancurkan invisible border yang selama ini mengurung mereka. Beberapa dari mereka membuang senjata api yang selama ini dijadikan alat perlindungan diri dan meninggalkan kehidupan gank jalanan.


Dalam berbagai kasus murid Erin, salah satu tokoh diajarkan Erin tentang arti kejujuran. Eva -seorang keturunan Hispanic- menjadi saksi penembakan yang menimpa salah satu teman dari teman sekelasnya yang ber-ras Kamboja. Eva merasakan dilema, di antara dua pilihan : menyelamatkan teman satu rasnya dengan berbohong bahwa temannya tersebut tidak melakukan penembakan ataukah menyatakan bahwa teman satu rasnya tersebut memang melakukan penembakan. Akhirnya Eva memilih yang kedua meski dia harus menanggung resiko perlawanan dari rasnya sendiri.


Usaha-usaha Erin ini dianggap salah seorang guru sebagai “ancaman”. Karena ternyata murid-murid Erin menginginkan agar mereka tetap bersama hingga di kelas Junior dan Senior. Usaha ini mendapat perlawanan keras dari pihak sekolah. Padahal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin karena Erin msih tergolong guru baru. Sehingga ia belum memiliki senioritas untuk menjadi guru di kelas Junior dan Senior. Tidak menyerah, ia malah menugaskan murid-muridnya untuk membuat suatu proyek akhir. Dengan bantuan 35 unit komputer dari temannya, Erin membimbing muridnya untuk membuat suatu buku bersama yang memuat kisah-kisah yang ada pada buku harian (jurnal) mereka terdahulu. Buku tersebut diberi judul The Freedom Writers Diary.


Memang pada akhirnya Erin dan suaminya bercerai. Hal ini didasari atas kecemburuan suaminya karena Erin sangat peduli pada murid-murid dan “lupa” padanya. Juga karena suami Erin merasa bahwa yang emnjadi istri adalah dirinya dan Erin adalah kepala rumah tangga. Ternyata hal itu tidak membuat Erin goyah karena pada akhirnya juga, ayahnya yang tidak mendukung malah balik mendukung karena Erin sangat bekerja keras demi perubahan murid-muridnya.


Akan tetapi secara mengejutkan, akhirnya Erin berhasil melobi pejabat pendidikan untuk tetap mengajar kelas 203 hingga tahun Senior. Ini semua berkat kerja keras mereka membuat the Freedom Writers Diary yang sanggup menggugah pejabat pendidikan. Hal ini membuat murid-muridnya sangat bersemangat dan pada akhirnya sebagian besar murid kelas 203 menjadi yang pertama di keluarga mereka lulus dari SMU dan sebagian meneruskan ke perguruan tinggi. Mengikuti jejak beberapa muridnya, akhirnya Erin mengajar ke California State University, Long Beach. Murid-murid Erin menyebut dirinya sebagai Freedom Writers dan Erin sebagai Mrs. G sebagai panggilan akrab. Hubungan keluarga yang dibina dalam ruang 203 menghancurkan batas-batas rasisme di SMA Woodrow Wilson dan juga Amerika Serikat selanjutnya.


ANALISIS


Dalam film ini ada beberapa hal yang bisa diangkat yaiut permasalah rasisme dan gank, diskriminasi yang terjadi di dalam dunia pendidikan, ruang kelas yang “menjelma” menjadi rumah hingga pentingnya peranan keluarga.


1. Racist dan Gank


Film The Freedoms Writers ini menampilkan isu ras. Masing-masing ras saling berlomba untuk mendapatkan pengakuan dengan cara bergabung dengan gank dari ras yang sama dan senasib. Pada awal film, ditampilkan bahwa untuk menjadi anggota suatu gank maka ia harus diajarkan kekerasan dengan cara dipukuli beramai-ramai. Tidak hanya di luar sekolah, di dalam sekolah pun sangat terlihat jelas ada batas-batas imajiner yang mengkotak-kotakkan mereka ke dalam area aman “sesama”. Tidak ada seorang pun yang berani melanggar batas-batas tersebut.

Dari salah satu permasalahan yang dihadapi oleh murid-murid Erin, saya mengangkat kisah Eva. Pola pikir Eva mengalami pergeseran, darah Hispanic memang mengalir deras dalam diri Eva. Akan tetapi pada akhirnya Eva memilih untuk berpihak pada kejujuran daripada memberikan kesaksian palsu demi melindungi kelompoknya (ras Hispanic).


2. Diskriminasi Dunia Pendidikan


Ketika Erin kali pertama melihat situasi sekolah, yang dilihatnya adalah adanya perbedaan antara kelas unggulan (didominasi oleh kulit putih, dan hanya ada satu kulit hitam). Pemisahan kelas yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas pemikiran dan stereotip bahwa pada umumnya The Black People , Hispanic, Kamboja, serta ras di luar kulit putih tidak mendapatkan nilai akademis yang tinggi. Menurut Erin, malah hal ini yang menyebabkan mereka tidak bisa bersaing secara sehat dengan The White People dalam bidang akademis.

Akan tetapi yang membuat saya terkejut adalah bahwa kepala sekolah di SMU tersebut adalah The Black People. Hal ini menandakan bahwa ia mendapat kedudukan tersebut karena pandai. Namun, ternyata kepala sekolah tersebut juga tidak mampu berbuat banyak untuk membantu Erin karena berada dalam “bayang-bayang“ anak buahnya yang termasuk dalam ras kulit putih. Satu hal yang juga membuat kecewa adalah perlakuan para guru yang sangat merendahkan murid-murid “terbelakang” di kelas 203. Kebetulan atau tidak, guru-guru tersebut dari golongan ras kulit putih. Seorang pendidik yang seharusnya mengapus batas-batas rasisme malah ikut menyuburkan rasisme. Sungguh ironis.

Tidak ada komentar: